Annyeongg~ Kali ini gua mau minta saran judul buat ni cerpen. Kasian noh gapunya judul. Ini cerpen gua sendiri yang mbuat, jadi maklumin aja kalo gaje ye~ Sekali lagi, gua minta sarannye ye~
Ini tugas jurnalistik xD Buat Mading bulan Maret tema perjuangan. Jadi ini cerpen tema perjuangan :v
“Aku sangat ingin bersekolah. Ya,
sekolah. Tempat dimana kau akan duduk di kursi yang menghadap ke papan tulis
dengan meja di depanmu sambil memperhatikan seseorang yang selalu memberimu
tugas. Seseorang itu adalah dia yang sering kau sebut sebagai guru. Lalu
menunggu bel berbunyi sehingga kau bisa pergi ke kantin untuk makan ataupun
untuk bisa pulang ke rumah. Juga tempat untuk mendapat teman. Kau bisa bertemu
dengan teman yang baik padamu bahkan sangat baik atau malah yang sebaliknya.”
Aku adalah seorang pemulung. Aku tinggal
di bawah jembatan bersama ratusan ton tumpukan sampah. Percayalah! Udara di
sini sungguh menyesakkan. Ayah dan ibuku juga sama sepertiku, mereka juga
seorang pemulung. Setiap hari aku selalu bersama dengan sahabatku, Marko. Yang
kami lakukan sehari-hari hanyalah mengumpulkan sesuatu yang bisa menghasilkan
uang bagi kami. Atau ke tempat favorit kami, di sebuah pohon mangga dengan
sebuah ayunan menggantung padanya.
Ketika itu kami sedang mengumpulkan
barang-barang yang bagiku sangat berharga namun tidak untukmu. Barang itulah
yang namanya sampah. Kami berkeliaran agak jauh dari biasanya. Di seberang dari
lingkungan kumuh tempat tinggalku, aku melihat sebuah bangunan yang biasa
mereka sebut dengan sekolah. Karena penasaran, aku pun mengintip dari jendela
salah satu ruangan yang biasa disebut ruang kelas dengan berpijak kursi panjang.
Disana ada seseorang yang sedang menulis di papan triplek berwarna putih yang
bernama papan tulis sedangkan yang lain sibuk dengan buku yang ada di depan mereka.
Di sampingku ada sebuah buku dan sebatang pulpen. Kutulis apa yang tertera di
papan tulis itu, tulisanku jelek memang tapi tak apa.
“Adna, apa yang kau lakukan? Kau menulis?” tanya Marko
dengan menatap barang yang ada di tanganku.
“Ya.” Jawabku singkat. Sangat singkat. Tiba-tiba
terdengar bunyi bel istirahat. Marko segera menarik tanganku untuk bersembunyi.
Setelah itu Marko mengajakku untuk pulang.
“Aku ingin bersekolah.” Gumamku saat perjalanan
pulang.
“Apa katamu?” tanya Marko yang mendengar gumamanku
tadi.
“Aku sangat ingin bersekolah.” Jawabku tegas ibarat
mengucapkan janji.
“Tapi bagamaina caranya, Adna?” tanya Marko
menyadarkanku. Marko benar, bagaimana caranya aku bersekolah?
“Emn.. Mungkin aku akan bekerja sambilan. Aku bisa
bekerja menjadi tukang cat atau sebagai tukang antar barang? Marko, maukah kau membantuku
mencarikanku lowongan pekerjaan?”
“Baiklah.” Jawab Marko spontan. Marko memang
benar-benar sahabatku.
*~*
Bunyi gemericik air terdengar di
telingaku. Sekarang bekerja sebagai tukang cuci piring di warteg yang tak jauh
dari sekolah yang setiap hari ku datangi untuk ku intip seperti pertama kali.
Sudah satu bulan dari saat pertama aku mengucapkan aku ingin bersekolah. Dari
satu bulan itu aku sudah merasakan rasanya menjalani berbagai macam pekerjaan
diantaranya menjadi tukang cuci piring, tukang cat, tukang antar barang. Memang
sangat berat untuk anak 10 tahun sepertiku. Orang tuaku juga sudah memberiku
izin untuk bersekolah, mereka juga ikut membantuku mengumpulkan uang.
Lima bulan kemudian, tahun ajaran baru
akan dimulai. Kurasa uangku sudah cukup untuk membayar SPP selama beberapa
bulan. Aku mencari sekolah dengan SPP termurah yang tak cukup jauh dari
lingkungan tempat tinggalku. Setelah beberapa waktu mencari, akhirnya aku
menemukannya, SD Nusa Bakti. Dengan ditemani Marko aku mendaftar di SD itu. Aku
sudah memulai sekolahku pada tahun ajaran baru yang akan dimulai dua minggu
lagi. Tiga puluh persen uangku sudah aku gunakan untuk membayar pendaftaran dan
membeli berbagai perabotan seperti seragam, tas, sepatu, alat tulis, dan
lain-lain.
“Ketika kau sudah mendapat teman. Jangan lupakan aku
ya, Ad.” Gumam Marko kepadaku dengan pandangan kosong ke arahku.
“Haha.. Bagaimana bisa aku melupakanmu Marko? Kau
adalah sahabatku. Percayalah! Aku tak akan bisa melupakanmu.” Jawabku sambil
tersenyum.
Dua
minggu itu pun sudah berlalu. Hari ini aku harus sudah masuk sekolah. Dengan
sepedaku yang sudah tua dan berkarat itu, aku berangkat ke sekolah baruku. Oh
ya! Aku duduk di kelas 4. Ketika memasuki ruang kelas ada sebagian anak yang
menatapku jijik karena bauku. Tetapi ada pula yang mentapku dengan pandangan
bersahabat.
“Hai..” seseorang menyapaku.
“Hai juga.” Balasku kaku. Naluriku berkata bahwa dia
adalah anak yang baik.
“Siapa namamu?” tanyanya ramah.
“Namaku Adna Cahyani. Lalu, siapa namamu?” aku balas
bertanya. Nada bicara kami sudah mulai akrab.
“Namaku Erika Amore. Salam kenal Adna. Kau boleh duduk
di sebelahku.” Tawarnya ramah.
Bel
masuk pun berbunyi. Seorang ibu guru pun masuk dan menyuruhku memperkenalkan
diri. Ketika aku memperkenalkan diri berbagai respond aku dapatkan.
Setelah itu aku duduk kembali ke bangkuku dan mengikuti pembelajaran.
Beberapa saat kemudian, bel istirahat
berbunyi. Aku dan Erika pergi ke kantin.
“Hei kamu. Dasar bau! Kenapa pake sekolah disini?”
bentak Talitha menancap tepat di telingaku.”
“Hehh.. Emang kenapa kalau Adna sekolah disini? Emang
ini sekolah punya kakek lu?!” Andin membelaku.
“Sudahlah. Jangan ribut-ribut!” Erika melerai. Sejak
saat itu Talitha dan teman-temannya selalu menggangguku.
Anehnya, aku bisa mengikuti pelajaran
dengan sangat baik. Mengejutkan memang. Aku yang sebelumnya tidak mengikuti
pembelajaran di kelas 1,2 dan 3 ini bisa mengikuti pembelajaran dengan baik. Aku
juga mengikuti giat lomba-lomba. Kemarin aku baru saja terpilih untuk mewakili
olimpiade matematika karena berhasil lulus test dan mengalahkan si juara
sekolah.
*~*
“Ad, kapan punya waktu untukku? Setiap
hari selalu sibuk dengan penelitian-penelitian di laboratoriummu itu!” cibir
Marko lewat telepon.
“Ya maaf, Mar. Besok aku akan luangkan waktu untukmu.”
Jawabku sambil tersenyum. Belum selesai aku berbicara dengan Marko, ada
panggilan dari Erika.
“Ya sudah. Kita lanjutkan lain waktu ya, Mar. Ada
telepon dari Erika nih.” Kuangkat telepon dari Erika.
“ADNAAA...
AKHIRNYA NOVELKU AKAN TERBIT BULAN DEPAN. Kau bisa datang saat launching novel
ku kan? Ayolah ini launching novel pertamaku. Luangkanlah waktu untukku dari
penelitian-penlitianmu itu!” rengek Erika dari telepon.
“Baiklah akan kuluangkan waktu untukmu, sahabatku”
jawabku sambil tersenyum. Aku tahu Erika tak dapat melihat senyumku. Aku juga
yakin Erika juga tersenyum di seberang sana.
-THE END-